Konsep aswaja (ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah) selama ini masih belum dipahami secara tuntas sehingga menjadi “rebutan” setiap golongan, semua kelompok mengaku dirinya sebagai penganut ajaran aswaja dan tidak jarang label itu digunakan untuk kepentingan sesaat. Jadi, apakah yang dimaksud dengan aswaja itu sebenarnya? bagaimana pula dengan klaim itu, dapatkah dibenarkan?


Aswaja merupakan singkatan dari istilah ahlun, al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut;


1. Ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut.


2. Al-Sunnah yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya.


3. Al-Jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin (Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq Ra., Sayyidina Umar bin Khattab Ra., Sayyidina Utsman bin Affan Ra., dan sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw).


Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailany dalam kitab al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal.80


فَالسُّـنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَالْجَمَاعَةُ مَا اِتَّفَقَ عَلَيْهِ اَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْمُهْدِيِّـيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ (الغنية لطالب طريق الحق جز 1 ص 80 )


Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah Saw. Pada masa al Khulafa’ al Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah Swt. memberi rahmat pada mereka semua). al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haqq juz I hal.80. 


Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdus Syakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma’ah:


اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ الَّذِيْنَ لاَزِمُوْا سُنَّةَ النَّبِـىِّ وَطَرِيْقَةَ الصَّحَابَةِ فِى اْلعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ وَاْلأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ وَاْلأَخْلاَقِ الْقَلْبِيَّةِ ( الكواكب اللماعة ص 8-9 )


Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw. dan jalan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati. (al-Kawakib al-Lamma’ah hal. 8-9) 


Jadi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, ketiga prinsip tersebut adalah al-tawassuth yaitu sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan, prinsip al-tawazzun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil aqli dan dalil naqli) dan al-I’tidal (tegak lurus). Ketiga prinsip tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (teologi), perbuatan lahiriyah (fiqih) serta masalah akhlaq yang mengatur gerak hati (tasawuf). Dalam praktek keseharian, ajaran ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dibidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidzi, sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyah terwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan dalam tasawuf mengikuti rumusan Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.



Salah satu alasan dipilihnya ulama’-ulama’ tersebut olehsalafuna al-shalih sebagai panutan dalam ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan intisari agama Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw. beserta para sahabatnya dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi ummatnya. Rasulullah Saw. Bersabda:


عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلاَمِىْ اَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْباَضَ بْنَ سَارِيَّةِ قَالَ وَعَظَناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتـِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفاَءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْمُهْدِيِّـْينَ (مسند احمد بن حنبل ص 16519 )


Dari Abd Rohman bin Amr al-Sulami, Sesungguhnya ia mendengar al-Irbadh bin Sariyah berkata, Rasulullah Saw. menasehati kami, Kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan perilaku al-Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk).(Musnad Ahmad Bin Hambal, 16519)


Karena itu, sebenarnya ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya. Ketika Rasulullah Saw. menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, dengan tegas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpadoman pada apa yang telah diperbuat oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya pada waktu itu (maa ana ‘alaihi waashkhabii).


وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً , وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ,كُلّهمْ فِي النَّار إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً , قَالُوا : مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي " (تهذيب سنن أبي داود وايضاح , باب من اطلع في بيت الجزء 2 ص 330)


Maka, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sesungguhnya bukanlah aliran yang baru muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran haqiqi agama Islam, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah justru berusaha untuk menjaga agama Islam dari beberapa aliran yang akan mencabut ajaran Islam dari akar dan pondasinya semula. Setelah aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan untuk menyosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran murni Islam, sekaligus merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan, dan mengembalikan agama Islam agar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat beliau. (Khittah Nahdliyyah, 19-20)



Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku dirinya termasuk ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Abu Said al-Khadimi berkata;


فَاِنْ قِيْلَ كُلُّ فِرْقَةٍ تُدْعَى اَلِهاً اَهْلَ السُّـنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ( قُلْنَا ذالِكَ لاَيَكُوْنُ بِالدَّعْوَى بَلْ بِتَطْبِيْقَةِ اْلقَوْلِ وَالْفِعْلِ وَذالِكَ بِالسُّنَّةِ اِلىَ زَمَانِناَ اِنَّمَا يُمْكِنُ بِتَطْبِيْقَةِ صَحَاحِ اْلأَحَادِيْثِ كَكُتُبِ الشَّيْخَيْنِ وَغَيْرِهُمَا مِنَ اْلكِتَابِ الَّتِيْ اِجْمَعَ عَلىَ وَثاَقَتِهاَ . (البريقة شرح الطريقة ص 111-112)


(Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai golongan ahlu al sunnah wa al-jama’ah itu bukan hanya klaim semata, namun harus diwujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita sekarang ini perwujudan itu dapat dilihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam hadits-hadits yang shahih, seperti shahih al-Bukhori, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya yang telah disepakati validitasnya. (al-Bariqah Syarh al-Thariqah, hal.111-112)


Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw. dan para sahabatnya, dan itu tidak bisa hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari.


2. Tiga Sendi Utama Ajaran Islam


Seperti yang sering dijelaskan, bahwa ada tiga pedoman ajaran yang menjadi standar ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, yakni tauhid (aqidah), fiqih dan tasawuf, ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa inti ajaran dalam agama Islam adalah tiga hal tersebut. Bagaimanakah hal tersebut?


عَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ « أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ « مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ « أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ ». قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِى « يَا عُمَرُ أَتَدْرِى مَنِ السَّائِلُ ». قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ« فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ».(صحيح مسلم الجزء 1 رقم 9)


 

Dari Umar bin Khattab ra., dia berkata: Pada suatu hari kami berada bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, sama sekali tidak nampak pada dirinya tanda-tanda kalau dia telah melakukan perjalanan jauh, dan tak seorang pun dari kami yang mengenalnya.


Kemudian laki-laki itu duduk di hadapan Nabi Saw. sambil menempelkan kedua lututnya pada lutut Rasulullah Saw., sedangkan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw., laki-laki itu bertanya: “ Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam”. Rasulullah Saw. menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi tiada Tuhan selain Allah Swt.dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah Swt. dan hendaklah kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan puasa pada bulan Ramadlan dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya”. Laki-laki itu pun menjawab, “Kamu berkata benar”, Umar berkata, tentu saja kami merasa heran kepada orang itu, sebab dia yang bertanya dan dia sendiri yang malah membenarkan (jawaban Rasululah).


Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, beritahukanlah kepadaku mengenai iman!, Rasulullah Saw. menjawab “Hendaklah kamu beriman kepada Allah Swt., para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman kepada hari akhir dan juga kepada qadar-Nya yang baik dan yang buruk”. Laki-laki itu pun menjawab, “kamu berkata benar”, kemudian laki-laki itu bertanya lagi “beritahukan kepada diriku mengenai ihsan”, Rasulullah Saw. menjawab “Hendaknya kamu menyembah Allah Swt. seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa merasa melihat-Nya, maka hendaklah kamu merasa dilihat-Nya (Allah Swt. melihatmu). Laki-laki itu bertanya lagi “beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat!” Rasulullah menjawab, “tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui dibanding orang yang bertanya,. Laki-laki itu berkata “kalau begitu beritahukanlah tentang tanda-tandanya saja!” Rasulullah Saw. Berkata “kalau sudah sudah ada budak melahirkan tuannya, kalau kamu telah menyaksikan orang yang tidak beralas kaki dan tidak berbusana dari kalangan orang-orang melarat penggembala domba saling berlomba-lomba mendirikan bangunan yang tinggi.”


Umar berkata “kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat, kemudian Rasulullah Saw. bertanya kepadaku, “Wahai Umar, tahukah dirimu siapakah laki-laki yang datang bertanya tadi? Aku menjawab, Hanya Allah Swt. dan Rasul-Nya saja yang mengetahui. Rasulullah Saw. lalu bersabda; sesungguhnya laki-laki itu adalah Jibril As. Ia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian semua. (Shahih Muslim, bab Ma’rifatil Iman wal Islam juz 1 hal 28)


Memperhatikan hadits di atas, maka ada tiga hal penting yang menjadi inti dari agama yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., yakni Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, dalam pengalaman kehidupan beragama tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan, seorang muslim tidak diperkenankan hanya terlalu mementingkan aspek Iman dan Islam dan begitu juga sebaliknya, sebagaimana firman Allah Swt.


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ (208)


Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah: 208)


Dan dari dalil di atas dapat kita ketahui bahwa inti ajaran Islam adalah iman, islam dan ihsan yang harus diamalkan secara kaffah (menyeluruh) dan dari perjalanan sejarah, secara keilmuan berkembang dan dikolaborasi menjadi ilmu tauhid, fiqih,dan tasawuf.


3. Aswaja dan Perkembangan Sosial Budaya


Manusia merupakan mahluk yang diciptakan Allah Swt.dalam bentuk yang paling sempurna (Fii ahsani taqwim, al-Thin:4) dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lainnya. Manusia diberi akal budi dan hati nurani untuk mengemban fungsi ke-khalifahan yaitu mengatur kehidupan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi (al-Baqarah: 30-34, al-An’am:165).


Sejarah kehidupan yang dibangun manusia telah menghasilkan peradaban, kebudayaan dan tradisi sebagai wujud karya dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tuntunan hidup yang dihadapi dalam lingkungan negara atau wilayah tertentu. Suatu bangsa atau suku membangun kebudayaan serta peradabannya sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai sosial serta pandangan hidup yang diperoleh dari ajaran agama atau faham yang dianut, budaya atau tradisi itu selalu mengalami perubahan baik berupa kemajuan maupun kemunduran yang semuanya ditentukan atas dasar relevansinya dengan kehidupan dan kemanusiaan. Pertemuan antara berbagai peradaban, kebudayaan dan tradisi merupakan kenyataan dan dialektika sejarah yang menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi, percampuran, serta perbenturan yang sesuai dengan daya tahan dan daya serap masing-masing, sebagai contoh adalah peradaban Islam di Indonesia yang muncul sejak awal abad ke-7 masehi sampai perkembangannya merupakan salah satu kenyataan sejarah tersebut.


Salah satu faktor penentu berkembangnya peradaban Islam adalah faham golongan ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham dengan metode yang komperehensif, memadukan antara wahyu dan akal yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang mengandung prinsip moderat (tawasuth), menjaga keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tasamuh). Metode pemahaman dan pemikiran (manhaj al-fikr) ini lahir dari proses dialektika sejarah pemikiran dan gerakan yang intens dengan mengikuti tuntunan wahyu dan tuntunan akal secara proporsional yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan hukum kehidupan (sunnatullah). Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah menghindari pertentangan politik dan fanatisme kelompok yang masuk dalam pemahaman keagamaan, dengan prinsip dan watak dasarnya itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dapat diterima dan berkembang di semua lapisan masyarakat serta ikut berperan memajukan kehidupan yang penuh kedamaian dalam wahana kebangsaan dan kenegaraan bersama peradaban, kebudayaan,dan tradisi lain.


Sebagai metode pemahaman dan pemikiran keagamaan yang fitri, ahlu al-sunnah wa al Jama’ah mengaktualisasikan diri dalam pengembangan peradaban, kebudayaan dan tradisi yang konstruktif (al-amru bi al-ma’ruf) serta mencegah perubahan yang destruktif (al nahy mabadi’ al khamsah: hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal) demi terwujudnya kemaslahatan di muka bumi.


Dengan prinsip menyebarkan rahmat kepada seluruh alam semesta (rahmat li al-‘alamin) ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang realitas kehidupan secara inklusif (semua, menyeluruh) dan substansif (independen, hakiki). Secara mutlak ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak mau terjebak dalam klaim kebenaran dalam dirinya juga tidak dalam kelompok-kelompok lain (tidak membedakan suku, ras dan budaya) karena mengaku atau mengklaim kebenaran hanya miliknya sendiri dan memandang pihak lain salah apalagi memaksakan pendapatnya kepada orang lain adalah merupakan sikap otoriter dan pada gilirannya akan mengakibatkan perpecahan, pertentangan dan konflik yang membuat kerusakan dan kesengsaraan.


Pluralitas (kemajemukan) dalam kehidupan ini adalah merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sifat ta’aruf, membuka diri dan melakukan dialog secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama dengan saling menghormati dan saling membantu.


Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai metode pemahaman dan pemikiran yang dirumuskan dalam wacana keagamaan dalam penjabaran secara praktis masih banyak terjadi khilafiyah dan mengalami distorsi (pemutarbalikan fakta atau kenyataan) baik oleh para penganutnya maupun dikalangan orang luar. Pemahaman yang memadukan antara wahyu dan akal, teori kasab, serta tekanan ajaran zuhud (‘uzlah), qana’ah dan sebagainya telah disalahfahami yang kemudian diasumsikan menjadi penyebab kemunduran karena tumbuhnya sikap determinasi dan kepasrahan dalam kehidupan keduniaan, padahal ajaran akidah itu lebih bersifat penataan hubungan hamba dengan Tuhan. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah mendorong manusia untuk menjadi pribadi muslim yang saleh, kreatif, dinamis dan inovatif agar mampu menjalankan fungsi kekhalifahan dengan tulus demi pengabdian dan kebudayaan yang maju, memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dengan mendayagunakan potensi intelektualitas dan intuisinya secara maksimal dan bertanggung jawab sebagai amal saleh yang menentukan nilai dirinya dihadapan Allah Swt.


Prinsip ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban didasari sikap yang seimbang, menjaga kesinambungan antara hal-hal baik yang sudah ada dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik (al-mukhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah) dan dengan dasar itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern yang baru muncul atau baru lahir sebagai hasil inovasi dan kreatifitas manusia atas dasar rasionalisme dalam menjawab tantangan yang dihadapi dalam bentuk nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kata lain ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern dapat dimanfaatkan sepanjang tidak mengakibatkan bahaya dan tidak bertentangan dengan sendi-sendi dasar akidah dan syariat Islam, lagi pula semua yang ada dalam peradaban dan kebudayaan modern baik berupa etos kerja, kedisiplinan, orientasi ke depan, dorongan penggunaan teknologi canggih merupakan warisan kemanusiaan yang membawa manfaat untuk kesejahteraan hidup manusia.

0 Komentar:

Posting Komentar

 
Top