Assalamu'alaikum wr.wb


Dalam dunia pesantren di tanah air ini, kita sering menjumpai pemandangan di mana para santri saling berebut untuk bisa menghabiskan kopi atau teh dari cangkir sisa gurunya. Fenomena itu lebih dikenal sebagai ngalap berkah. Ngalap berkah adalah salah satu nilai yang diajarkan dalam agama Islam dan bukanlah hal baru, sebab generasi sahabat dan para salaf telah meneladankan tradisi tersebut.


Telah kita ketahui bersama dalam kitab-kitab sirah nabawiyah bagaimana para sahabat berebut untuk mendapatkan tetesan wudhu Baginda Nabi SAW. Beliau SAW tak sekalipun melarang perbuatan itu. Berkah itu sesungguhnya ada, dan bisa diraih lewat perantara orang-orang yang sangat dekat dengan Allah SWT.


Secara harfiah, berkah bermakna bertambah atau berkembang. Sedangkan dalam terminologi bahasa berkah berarti bertambahnya kebaikan. Jadi ngalap berkah atau tabarruk adalah mengharap tambahan kebaikan dari Allah SWT dengan perantara ruang, waktu, makhluk hidup dan bahkan benda mati.


TABARRUK RASULULLAH dengan tempat mulia


Bertabarruk (mencari berkah) bisa dilakukan dengan perantara tempat-tempat yang mulia, sebagai dalam firman Allah SWT berikut :


“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (Q.S. ali Imron : 96)


Dalam hadits panjang tentang perjalanan Isra’ Jibril mengajak Rasulullah SAW singgah di beberapa tempat untuk bertabarruk dengan mengerjakan shalat dua rakaat seperti di Bait Lahm tempat kelahiran Nabi Isa a.s., di bukit Thurisina, tempat Nabi Musa ber-mukalamah dengan Allah SWT, dan lain-lain.


“Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Didatangkan kepadaku kendaraan Buraq,’ lebih besar dari keledai, dan lebih kecil dari baghal (peranakan kuda dan keledai), langkahnya sejauh pandangannya. Lalu aku menaikinya dan berangkat bersama Jibril a.s. Tiba-tiba Jibril berkata kepadaku, “Turunlah dan shalatlah.” Aku pun mengerjakannya. Kemudian Jibril berkata “Tahukah engkau di mana engkau shalat, engkau tadi shalat di Tayyibah (Madinah) yang akan menjadi tujuanmu hijrah. Kemudian Jibril berkata: “Turunlah dan shalatlah!”, aku pun mengerjakannya, lalu dia berkata: “Tahukah engkau di mana shalatmu tadi, engkau shalat ada di Thurisina tempat Allah ber-mukalamah dengan Musa a.s.” Lalu berangkat lagi dan Jibril berkata: “Turunlah dan shalatlah!”, maka aku pun mengerjakannya, lalu dia bertanya: “Tahukah engkau di mana engkau shalat, engkau shalat ada di Bait Lahm, tempat kelahiran Nabi Isa a.s., kemudian aku masuk ke Baitil Maqdis, di sana telah berkumpul para nabi, lalu Jibril memintaku untuk menjadi imam shalat mereka.” (H. R. An-Nasa’i)


TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN BEKAS-BEKAS RASULULLAH SAW


Sahabat Anas r.a. menceritakan bagaimana para sahabat bertabarruk dengan rambut Rasulullah SAW:


“Aku melihat tukang cukur sedang mencukur Rasulullah SAW dan para sahabat mengitarinya. Tidaklah mereka kehendaki satu helai pun dari rambut beliau terjatuh kecuali telah berada di tangan seseorang.” (H.R Muslim, Ahmad dan Baihaqi)


“Aku mendatangi Rasulullah sewaktu beliau ada di kubah hamra’ dari Adam, aku juga melihat Bilal membawa air bekas wudhu’ Rasulullah dan orang-orang berebut mendapatkannya. Orang yang mendapatkannya air bekas wudhu’ itu mengusapkannya ke tubuhnya, sedangkan yang tidak mendapatkannya, mengambil dari tangan temannya yang basah” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad)


Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa para sahabat bertabarruk dengan keringat Rasulullah SAW. Berkata Anas bin Malik :


“Rasulullah SAW masuk rumah Umi Sulaim dan tidur di ranjangnya sewaktu Umi Sulaim tidak ada di rumah, lalu di hari yang lain Beliau datang lagi, lalu Umi Sulaim di beri kabar bahwa Rasulullah tidur di rumahnya di ranjangnya. Maka datanglah Umi Sulaim dan mendapati Nabi berkeringat hingga mengumpul di alas ranjang yang terbuat dari kulit, lalu Umi Sulaim membuka kotaknya dan mengelap keringat Nabi lalu memerasnya dan memasukkan keringat beliau ke dalam botol, Nabi pun terbangun: “Apa yang kau perbuat wahai Umi Sulaim”, tanyanya.” “Ya Rasulullah, kami mengharapkan berkahnya untuk anak-anak kami,”


jawab Umi Sulaim. Rasulullah berkata: “Engkau benar” (H.R. Muslim dan Ahmad)


TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN JUBAH RASULULLAH


Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahihnya Bab al-Libaas pernah bahwa Asma’ binti Abu Bakr pernah menunjukkan pada Abdulah, bekas budaknya jubah Rasulullah yang terbuat dari kain Persia dengan kain leher dari kain brokat, dan lengannya juga dibordir dengan kain brokat seraya berkata “Ini adalah jubah Rasulullah SAW yang disimpan ‘Aisyah hingga wafatnya lalu aku menyimpannya. Nabi SAW dulu biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk orang yang sakit hingga mereka dapat sembuh karenanya.”


Dalam kitab yang sama Imam Nawawi menulis setidaknya 11 kali anjuran untuk mencari berkah dari bekas orang-orang Saleh.


Ini adalah dalil akurat bahwa tabarruk tidak terbatas pada masa hidup Rasulullah dan dianjurkannya bertabarruk dengan orang-orang saleh. Hal ini juga dilalakukan Imam Syafii dengan bertabarruk pada gamis Imam Ahmad


Berkata Rabi’: “Sesungguhnya Imam Syafi’i pergi ke Mesir bersamaku, lalu berkata kepadaku: “Wahai Rabi’, ambil surat ini dan serahkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, selanjutnya datanglah kepadaku dengan membawa jawabannya!”,


Ketika memasuki kota Baghdad kutemui Imam Ahmad sedang shalat subuh, maka aku pun shalat di belakang beliau. Setelah beliau hendak beranjak dari mihrab, aku serahkan surat itu, “Ini surat dari saudaramu Imam Syafi’i di Mesir,” kataku.


“Kau telah membukanya?” tanya Imam Ahmad. “Tidak, wahai Imam” Beliau membuka dan membaca isi surat itu, sejenak kemudian kulihat beliau berlinang air mata. “Apa isi surat itu wahai Imam?” tanyaku. “Isinya menceritakan bahwa Imam Syafi’i bermimpi Rasulullah SAW, Beliau berkata: “Tulislah surat kepada Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Kabarkan padanya bahwa dia akan mendapatkan cobaan, yaitu dipaksa mengakui bahwa al-Qur’an adalah mahluk, maka janganlah diikuti, Allah akan meninggikan benderanya hingga hari kiamat,” tutur Imam Ahmad “Ini suatu kabar gembira,” kataku. Lalu beliau menuliskan surat balasan seraya memberikan padaku qamis yang melekat di kulitnya.


Aku pun mengambil surat itu dan menyerahkannya kepada Imam Syafi’i. “Apa yang diberikan Imam Ahmad padamu?” tanya Imam Syafi’i. “Gamis yang melekat dengan kulit beliau,” jawabku. “Kami tidak akan merisaukanmu, tapi basahi gamis ini dengan air, lalu berikan kepadaku air itu untuk bertabarruk dengannya,” kata beliau.


BERTABARRUK DENGAN BENDA MATI


Bertabarruk terkadang bisa dilakukan dengan benda mati yang pernah dipakai atau disentuh orang saleh sebagaimana kisah Bani Israil, mereka selalu menang dalam peperangan berkat tabut di tangan mereka.


Berkata Imam Ibnu Jarir:


Bani Israil jika berperang dengan para musuhnya selalu membawa tabut yang ada di qubah zaman, mereka selalu mendapat pertolongan dan kemenangan dengan berkat Tabut itu dan dengan apa yang Allah jadikan di dalamnya berupa ketentraman dan warisan yang ditinggalkan oleh keluarga Musa a.s. dan keluarga Harun a.s.”


Peninggalan Musa dan Harun berupa dua papan Taurat, pecahan papan, tongkat dan sandal Nabin Musa, imamah dan tongkat Nabi Harun, serta satu keranjang dari Manna yang diturunkan kepada Bani israil.” .


Selain itu, jika di Bani Israil ada permasalahan, maka tabut itu -dengan kehendak Allah- berbicara dan menjadi hakim diantara mereka. Jika berperang mereka letakkan tabut di depan mereka dan mereka pun mendapatkan kemenangan atas musuh mereka


Dari paparan keterangan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa bertabarruk sangat dianjurkan guna meraih kebaikan dunia dan akhirat. Berkah bukanlah pepesan kosong belaka, namun benar-benar ada dan bisa kita rasakan. Jangan sekali-kali mengingkari manfaat tabarruk


Ingatlah satu peristiwa yang terjadi di zaman kekhalifahan Sayidina Utsman bin Affan yang diriwayatkan Qadi ‘Iyad dalam kitab asy-Syifa’ . Ketika itu seorang bernama Jihja al-Ghiffari mengambil tongkat Nabi SAW dari tangan Utsman bin Affan. Jihja kemudian berusaha mematahkan tongkat itu dengan lututnya. Upaya itu gagal. Malah kaki Jihjah belakangan mengalami infeksi pada bagian lutut dan harus diamputasi. Dan ia pun akhirnya mati sebelum akhir tahun itu.


Sungguh fatal akibat dari perbuatan Jihja itu. Bagaimana pula dengan perbuatan-perbuatan mereka yang telah membumihanguskan peninggalan-peninggalan Rasulullah SAW?


Wallohu A'lam


Oleh Sang BaraQbah Habibah

1 Komentar:

 
Top