مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.
Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:
* istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.
* secara garis besar sudah diterangkan pula artinya.
Pengertian
Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:
* Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.
*
Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau
sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat
bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang
berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik.
* Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti "dan".
*
Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya
sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi
artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan
hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.
Analisis
Arti kata demi kata tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:
* Kata ahlu sudah jelas.
*
Kata assunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup
al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa
Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun
berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan
bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu
dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul
Quran, tidak bisa lain.
* Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.
*
Kata aljamaah berarti para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka
adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka
saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati
sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat
terkemuka mengetahui:
o sebab musabab sesuatu hadits timbul,
o situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan
o
hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran,
dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.
Kalau
kita membaca sebuah hadits diibaratkan melihat sebuah potret, maka
mereka lebih mengetahui obyek yang dipotret dan mengenal daerah
sekitarnya, mengenal orang-orang yang ada pada potret itu. Mereka lebih
menghayati hadits atau sunnah.
Faktor
penghayatan mereka sangat penting sekali nilainya sebagai bahan
pertimbangan utama untuk menyimpulkan sesuatu pendapat mengenai arti
sesuatu hadits. Memang penghayatan atau pendapat para sahabat terkemuka
tidak termasuk sumber hukum agama Islam sebagaimana al-Quran dan
al-Hadits yang sahih. Tetapi mengabaikan atau meremehkan
pendapat/penghayatan para sahabat terkemuka adalah suatu sikap yang
kurang bijaksana. Apalagi kalau pengabaian atau peremehan hanya berdasar
atas pendapat pihak yang meyakinkan penghayatan dan ketajaman
analisisnya.
Bukan
suatu hal yang mustahil ada sesuatu sikap atau tingkah laku Nabi yang
dilihat dan dihayati oleh para sahabat terkemuka tetapi beritanya tidak
sampai kepada kita. Mungkin tidak terbaca oleh kita, atau mungkin tidak
tercatat oleh para pencatat hadits. Itulah antara lain sebabnya, masalah
tarawih 20 rakaat, berdasar pendapat atau penghayatan sahabat Umar bin
Khattab dan tidak ditentang oleh para sahabat lainnya diterima sebagai
sesuatu yang benar. Demikian pula adzan dua kali untuk salat Jumat
berdasar pendapat sahabat Utsman bin Affan. Sudah tentu nash sharih
selalu didahulukan dari pendapat siapa pun.
Penilaian
yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi
hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara assunnah
dengan aljamaah. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para
sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau
kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk.
Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama
Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka
adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada
al-Quran dan al-Hadits.
Dengan
pengertian inilah kata assunnah dengan aljamaa dirangkaikan. Assunnah
diartikan sebagaimana diuraikan di atas, dan aljamaah diartikan
penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk pembantu
untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah. Oleh karena
itu disimpulkan pengertian:
• assunnah wal jamaah: persis sama dengan
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
, yaitu:
1. ajaran yang dibawa, dikembangkan, dan diamalkan oleh Nabi Muhammad saw, dan
2. dihayati, diikuti, dan diamalkan pula oleh para sahabat.
* ahlussunnah wal jamaah ialah golongan yang berusaha selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.
Secara
popular dan mudah, tetapi berbau reklame dan agitasi dapat dirumuskan
bahwa ahlussunnah wal jamaah adalah golongan yang paling setia kepada
Nabi Muhammad saw.
Proses perkembangan
Sinyalemen
Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum,
bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah.
Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang kemudian menjadi
kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan
diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.
Faktor
utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah
sikap tatharruf atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang
pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Sebagaimana adat dunia, tiap
ada yang berlebihan ke kanan, biasanya timbul pihak yang berlebihan ke
kiri.
Hal
yang menonjol dalam sejarah ialah kebangkitan golongan Syiah yang
berlebihan mencintai famili Nabi, sehingga menyalahkan sahabat Abu Bakar
ra dan lain-lain. Sikap berlebihan ini makin lama makin hebat dan
menimbulkan tandingan yang berlebihan pula, tetapi berlawanan arah.
Kemudian
muncul golongan Khawarij yang terlalu kaku, radikal. Semula mereka
tergolong Syiah, tetapi ketika ada usaha kompromi antara Syiah dan anti
Syiah, maka golongan ini melepaskan diri dan menamakan diri Khawarij.
Kalau golongan Syiah dapat disebut terlalu emosional sentimental atau
terlalu mengikuti perasaan, maka golongan Khawarij dapat disebut terlalu
radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur.
Pada
zaman berikutnya muncul lagi golongan Mu'tazilah yang terlalu memuja
akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang
tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan
penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis.
Semula
perbedaan atau penyimpangan kecil, makin lama membesar dan makin parah.
Tiap penyimpangan disusul dengan penyimpangan, bercabang-cabang menjadi
semrawut.
Hal-hal lain yang menambah keparahan perbedaan atau penyimpangan, bahkan penyelewengan dan bentrokan adalah:
*
Kepentingan famili, politik, dan kekuasaan, Kepentingan politik telah
menimbulkan golongan pro dan kontra Utsman bin Affan dan Ali bin Abu
Thalib, berkelanjutan dengan golongan Umawiyah dan Abbasiyah.
*
Infiltrasi kaum munafik yang berpura-pura Islam. Infiltrasi kaum
munafik secara halus telah banyak menimbulkan pertentangan antara lain
pernah ada 'anti Aisyah'.
*
Sisa-sisa kepercayaan lama dan israiliyat yang sedikit banyak masih ada
pada pemeluk Islam baru dari berbagai unsur seperti Majusi, Yahudi,
Nasrani, dan lain-lain terselundup di kalangan kaum muslimin baik
disengaja maupun tidak. Dongeng-dongeng yang tidak ada dasarnya dalam
Islam adakalanya dianggap seperti dari Islam.
*
Pengaruh filsafat barat, Yunani. Filsafat Yunani yang diungsikan dari
barat karena dimusuhi oleh kaum Masehi banyak diterima, diterjemahkan,
dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Islam. Disamping kemajuan berpikir
yang positif, hal ini berakibatsampingan timbul sikap terlalu
akal-akalan sehingga akidah Islam yang mudah dan logis menjadi rumit dan
sulit.
Disamping
penyimpangan dan penyelewengan yang semrawut, masih cukup kuat dan
besar kaum muslim yang tetap berada pada jalan lurus dengan tokoh para
ulama shalihin mukhlishin, ahli agama yang beramal saleh dan yang
ikhlas. Mereka juga disebut ulama salaf yang berusaha, berjuang, dan
bekerja keras memelihara, mempertahankan, menyiarkan, dan mengembangkan
assunnah wal jamaah serta membentengi umat Islam dari unsur-unsur
penyelewengan.
Prinsip kebenaran
Selain
perjuangan praktis insidental mengajarkan assunnah wal jamaah dan
menolak serangan atau penyelewengan, mereka juga berusaha keras
mempersenjatai umat Islam dengan prinsip, metoda, dan haluan untuk tetap
berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah agar terbentengi dari
penyelewengan. Metoda, haluan atau pedoman dimaksud antara lain:
* nash yang qath'iy, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan.
* ar-ra'yu, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath'iy atau tidak ada /nash/nya.
*
penggunaan ar-ra'yu untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut
ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat
supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.
* bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat.
*
sikap tawassuth yaitu sikap tegak lurus yang tidak membelok ke kanan
atau ke kiri dan sikap tawazun yaitu sikap berkeseimbangan yang tidak
berat sebelah harus selalu menjadi pedoman dalam segala hal ketika
menghadapi segala masalah agar tidak terjerumus kepada penyelewengan.
Metoda
yang dibekalkan oleh para ulama salaf, shalihin, mukhlishin kepada umat
Islam adalah agar selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal
jamaah. Tokoh paling terkenal di kalangan Islam yang pendapat dan hasil
ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat
yang berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah antara lain:
* Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: Imam Abul Hasan al-Asy'ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy.
* Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'iy, dan Imam Hambali.
Sebenarnya
masih banyak lagi selain yang disebut di atas, namun merekalah yang
paling terkenal yang pendapat, hasil ijtihadnya, dan hasil perumusannya
dapat dibukukan serta dipelajari sampai sekarang.
Argumentasi
Berdasarkan pedoman yang telah dibekalkan oleh para ulama salaf shalihin mukhlishin tersebut dapat dikemukakan argumentasi:
1.
Nash qath'iy yang harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran
adalah memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi
taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang
membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.
2.
Ar-ra'yu yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad
saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut
memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan
selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak
ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra'yu. Nabi
membenarkan jawaban sahabat Muadz.
3.
Penggunaan ar-ra'yu yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat
adalah wajar, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi
tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi
menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau
selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Kesembronoan
dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang
berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa
para pengikutnya yang harus terpikul.
4.
Keharusan seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri
dan dipersilakan untuk mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli
ijtihad adalah wajar. Orang yang tidak tahu harus bertanya kepada yang
tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Firman Allah
dalam al-Anbiya' ayat 7 yang artinya:
Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu.
Siapakah
yang ahli agama itu? Mereka adalah para ulama mujtahidin, yang memenuhi
persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah
karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama
inilah yang disebut bermadzhab atau taklid.
5.
Umat Islam yang harus bersikap tawassuth, jalan tengah lurus, dan
tawazun, berkeseimbangan, adalah memang watak atau karakteristik agama
Islam dan demikian pula perintah Allah. Banyak ayat yang menunjukkan
karakteristik Islam dan kaum muslim. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa
tiap kebenaran itu selalu berada di tengah-tengah antara dua kesalahan.
Kebenaran selalu berada pada yang berkeseimbangan. Sikap tawassuth dan
tawazun adalah karakteristik yang menonjol bagi ahlus sunnah wal jamaah
dalam semua bidang. Bahkan gaya hidup dan kehidupannya ditandai dengan
karakter ini. Sudah barang tentu sikap tawassuth harus tidak menyeleweng
dari kaidah agama yang lebih mutlak.
Perilaku ahlus sunnah wal jamaah
Seorang ahlus sunnah wal jamaah dalam realisasi kongkrit berperilaku sebagai berikut:
1.
Mula-mula belajar pada seorang ulama atau guru agama yang memberikan
pelajaran berdasar atas hasil ijtihad seorang mujtahid dan menerima
kebenaran semua pelajaran tersebut.
2. Kemudian mempelajari dalil yang menjadi dasar pelajaran tersebut sehingga lebih mantap.
3.
Bagi yang berkemampuan atau berkesempatan dapat dilanjutkan dengan
memperbanding sesuatu pedapat dengan pendapat lain, menilai
argumentasinya dan seterusnya.
4.
Mungkin kalau benar-benar dapat mencapai syarat-syarat kemampuan dan
keikhlasan dapat berijtihad sendiri. Tetapi pada umumnya hanya sampai
kepada kemampuan 'punya pendapat' sendiri di dalam satu hal tetapi masih
dalam rangkaian pendapat para mujtahid sebelumnya.
5.
Berhati-hati dalam mengemukakan sesuatu pendapat sendiri karena harus
pula mengakui kekuatan pendapat pihak lain sehingga selalu bersikap
toleran, tawassuth, dan tawazun.
Dengan
berbekal pedoman dari ulama salaf dalam proses pembinaan yang
berabad-abad lamanya, terwujudlah golongan yang lazim disebut kaum
kiyahi dengan santri-santrinya yang pada umumnya disebut dan menyebut
diri ahlus sunnah wal jamaah. Suatu sebutan yang sama sekali tidak
salah, tetapi harus segera diingatkan bahwa ahlus sunnah wal jamaah
tidaklah terbatas hanya pada mereka saja. Mereka dengan tekun dan penuh
disiplin ketat belajar dan memperdalam ilmu agama Islam serta
pengamalannya menurut garis assunnah wal jamaah. Tetapi setiap muslim
dapat menjadi ahlus sunnah wal jamaah yang baik asal mau mengikuti jejak
dan mengikuti bekal yang diberikan oleh ulama salaf, tokoh pembela dan
pejuang assunnah wal jamaah. Dengan mengikuti jejak mereka kita akan
tetap berada di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah.
Anggapan
bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidak menggunakan akal pikirannya, hanya
bertaklid buta saja, adalah suatu anggapan yang keliru. Anggapan bahwa
kaum kiyahi dan santri tidak tahu dalil sesuatu masalah, hanya
ikut-ikutan saja adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Mungkin
di kalangan mereka masih sedikit orang yang pandai berkomunikasi,
berdialog, dan menyampaikan pikirannya dalam media massa modern seperti
buku, majalah, dan sebagainya dengan menggunakan bahasa banyak dan mudah
dipahami oleh masyarakat yang disebut masyarakat modern. Mereka lebih
mengarahkan sasaran komunikasinya di kalangan intern. Hal ini merupakan
tantangan bagi ahlus sunnah wal jamaah dan juga bagi semua pihak agar
komunikasi menjadi lebih lancar, lebih terbuka, dan lebih baik. Saling
pengertian yang lebih baik secara timbal balik sangat diperlukan.
Kaum
muslim di Indonesia wajib melipatgandakan rasa syukur kepada Allah,
karena pada umumnya tidak terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam
masalah keagamaan. Hal yang perlu kita garap adalah penyempurnaan
kehidupan beragama kita, bukan mempertajam perbedaan pendapat. Untuk itu
perlu memperdalam pengetahuan dan memperbanyak amal keagamaan, bukan
perdebatan yang emosional. Diharapkan pengertian bagi generasi muda
Islam terhadap hal seperti ini agar tidak membuat sempalan sendiri
dengan jaringan liberal.
Berijtihad vs bermadzhab
Berbicara
tentang ahlus sunnah wal jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad
dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang
pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan ra'yu adalah usaha keras
untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran
dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang
sharih, jelas, tegas, atau qath'iy, pasti.
Ijtihad
adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum
sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'iy dalam al-Quran dan/atau
hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal
adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para
mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang
disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.
Hasil
ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti
oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad
sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab
kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan
yang bermadzhab adalah konsumen.
Persyaratan ijtihad
Sebagaimana
diuraikan sebelumnya, menurut ahlus sunnah wal jamaah bahwa ijtihad
atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai
persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal
jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah:
1. Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan
mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar
mencari-cari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera
dan nafsu atau kepentingan lain.
Jika
dikomparasikan dengan produsen, persyaratan yang diperlukan adalan
memiliki bahan baku, pengetahuan tentang bahan, dan teknologi yang benar
untuk menghasilkan produksi yang benar dan bermanfaat. Kiranya tidak
sulit dipastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan
ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan
menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu ada
dua alternatif:
* Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.
*
Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau madzhab orang lain, yang
dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa
hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada waktu
permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah
mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.
Mungkin
ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti,
seringkali baru mencapai taraf 'merasa' mampu, namun belum benar-benar
mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan
bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh
semua orang.
Bermadzhab
sering disebut dengan bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan
digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau
membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh
mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang
demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, kiyahi, serta guru
hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan
dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari
al-Quran dan al-Hadits.
Bermadzhab
bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang
wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam
Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'iy. Jadi, ada
tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi
tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin
akhirnya berijtihad sendiri.
Ada
alternatif lain yang disebut ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad
orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang
dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:
*
Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah
sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan
ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus
mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti
kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak
dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang
yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?
*
Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid
yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan
istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan
didorong sekuat tenaga.
Kalau
kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan
taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan
dalam praktek tidak banyak berbeda. Tak ada pihak anti ijtihad dan anti
bermadzhab dalam arti murni dan mutlak. Pihak yang menamakan diri
golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad karena hal
tersebut diperintahkan agama sebagaimana disebut dalam hadits. Namun
ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah
jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa
konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta
dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem
bermadzhab.
Pihak
yang menamakan diri sebagai golongan ijtihad sebenarnya dalam
kenyataannya tidak mampu berijtihad sendiri. Mereka tetap mengikuti
hasil ijtihad orang lain juga, melepaskan diri dari madzhab lama dan
mengikuti madzhab baru. Di antara mereka ada yang dapat mengerti atau
mengetahui beberapa dalil serta argumentasi 'hasil ijtihad' baru, tetapi
lebih banyak yang tidak mengetahuinya.
Pertentangan
yang timbul biasanya tidak bertitik tolak pada inti masalah, namun
sudah berada di luarnya. Permasalahan yang timbul sering disebabkan ulah
dan sikap mereka yang sok tahu, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu
apa-apa.
Penyakit
lain di kalangan umat Islam yang sangat mengganggu usaha kerukunan umat
adalah terlalu berorientasi atau berkiblat kepada kepentingan golongan
dan kurang berorientasi kepada pendirian keagamaan dan kepada agama.
Upaya yang dilakukan adalah terlalu ingin memenangkan golongan
masing-masing atau orang-orang di dalam golongan tersebut dan kurang
terarah kepada kemenangan agama Islam dan pendirian keagamaan. Mereka
akhirnya merasa puas kalau berhasil menyingkirkan golongan atau orang
lain dan dapat merebut posisinya tanpa banyak memikirkan apakah posisi
tersebut menguntungkan atau merugikan umat dan agama.
Penyakit
yang sangat parah tersebut menghasung upaya pembinaan generasi muda
yang penuh pengertian atas tanggung jawabnya pada masa depan. Penanganan
dan pemupukan serta pengembangan bibit pengertian ke arah persatuan
umat mutlak diperlukan demi kejayaan umat masa depan. Di tengah
kerisauan menghadapi masalah generasi muda yang terkadang merisaukan
kiranya perlu dipelihara sikap optimisme. Jika sikap optimisme hilang,
maka menyebabkan kehilangan antusiasme, semangat, dan gairah yang
berakibat kehilangan segala-galanya.
Sepanjang
sejarah, tiap generasi tua yang pasti akan mengakhiri kiprahnya dalam
peredaran zaman selalu melihat dengan telti kesalahan generasi muda yang
akan menggantikan dengan penuh rasa khawatir. Kekhawatiran seperti itu
adalah wajar, namun tidak boleh berlebihan yang dapat mengarah kepada
peremehan, tidak percaya kepada generasi muda yang pasti akan
menggantikan.
Karena
itu generasi tua yang sadar akan memberikan bimbingan dengan penuh
kasih sayang dan penuh kepercayaan. Dengan demikian tidak perlu
meremehkan dan mencurigai generasi muda. Keberhasilan generasi tua dapat
diceritakan, namun kegagalannya tidak boleh disembunyikan. Hal ini
dimaksudkan untuk membuat generasi muda dapat mengambil pelajaran secara
wajar, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan atau
kebelumberhasilan generasi tua. Keberhasilan perlu dikembangkan dan
kegagalan perlu dipelajari penyebabnya serta dicari solusi agar dapat
keluar dari kegagalan.
Reorientasi agamawi
Salah
satu hal yang dipandang belum berhasil adalah kerukunan umat secara
mantap. Berulangkali umat Islam Indonesia berhasil membentuk wadah
kerukunan, namun belum berhasil memelihara dan mengembangkannya secara
mantap. Melihat gelagat yang dapat dibaca dari situasi dunia Islam pada
umumnya dan kaum muslimin Indonesia khususnya, kita dapat menancapkan
harapan bahwa proses sejarah mengarah kepada masa depan Islam yang
gemilang.
Terkadang
kita perlu prihatin melihat beberapa kondisi yang tidak mengenakkan,
terutama melihat posisi berbagai organisasi Islam, meski potensi sesuatu
umat tidak hanya bergantung kepada posisi organisasinya saja. Banyak
faktor lain yang ikut menentukan potensi tersebut.
Mari
kita coba untuk merenungkan diri kembali. Orientasi umat Islam yang
selama ini terpencar dan berserakan kiranya perlu dikembalikan ke
pusatnya, yaitu masalah agamawi, atau berorientasi agamawi. Kita perlu
berusaha dan bekerja keras, belajar, dan berupaya meningkatkan potensi
agama Islam di Indonesia.
Perjuangan
untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan potensi agama dan umat
bukan hanya tugas satu generasi saja. Perjuangan adalah tugas seluruh
generasi secara berkesinambungan. Generasi tua harus sadar bahwa umur
dan kesempatan sudah hampir pupus dan pada gilirannya pasti habis.
Kemudi dan tanggung jawab pasti beralih ke tangan generasi muda,
bagaimana pun kondisi generasi muda saat ini.
Karena
itu kiranya perlu menjadikan generasi muda sebagai manusia sejarah dan
manusia pejuang yang sanggup berdiri sendiri. Mereka tidak boleh menjadi
anak-anak yang hanya pandai membanggakan hasil karya nenek moyangnya.
Pepatah Arab mengatakan:
اِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا اَنَا ذَا * لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِيْ